Maop
CERPEN: IDA FITRI
MAOP menatap seorang wanita dari balik bayang rumah tua. Wanita itu terlihat waspada seperti sadar sedang diperhatikan. Bunyi high heels yang dipakai wanita tersebut menjadi nada yang saling mengejar dengan tarikan napasnya. Wanita itu berhenti sejenak, kemudian melihat kiri kanan. Bahkan menatap ke tempat Maop bersembunyi. Yang terlihat hanya kegelapan.
Terdengar desahan napas lega. Wanita itu kembali melangkah tanpa rasa curiga. Maop tersenyum dari balik bayang, “ Ini saatnya bergerak ….”
***
“Mirah, tak baik perempuan berjalan sendirian di malam hari,” ujar Nek Tu sambil menyugibakong asoe. Wanita berpipi cabi di depannya tersenyum tipis. Nek Tu sudah terlalu uzur untuk mengerti dunia yang maju lebih cepat belakangan ini. Bukankah lelaki dan perempuan memiliki hak yang sama? Apa salahnya seorang perempuan berada di luar pada malam hari? Toh ia hanya menjual kosmetik, bukan menjual diri. Pekerjaannya sebagai seorang SPG di sebuah Mall yang berada di Kota Juang ini, mengharuskan wanita tersebut naik shif malam. Mall tutup pada jam 22. 00 WIB.
“Jangan seperti ibumu,” ujar Nek Tu lain kali. Mirah tak pernah tahu apa yang terjadi pada ibu kandungnya. Yang ia tahu wanita yang dipanggilnya ibu bukanlah ibu biologisnya. Tapi wanita itu akan marah besar kalau Mirah mengungkit hal tersebut. Menurut Nek Tu, wanita yang dipanggilnya Ibu yang menjadi menantunya adalah saudara jauh wanita yang sudah melahirkannya. Wanita itu menitipkan Mirah pada menantunya, kemudian menghilang entah kemana. Mirah segera disusui ibu dan dijadikan anak perempuan sulung di keluarga mereka. Nek Tu sering mengulang-ngulang cerita itu di belakang ibunya. Perempuan itu sudah sangat tua dan mulai linglung, pikir Mirah berusaha menghibur diri. Kakinya saja sudah tidak bisa dibawa berjalan.
Ah! Kaki-kaki Nek Tu-nya pasti sudah terlalu tua untuk mengejar cepatnya perputaran dunia dewasa ini. Bahkan perempuan sudah naik ke bulan. Nek Tu masih tetap di singgasana kebesarannya dan menyugibakong asoe. Singgasana yang dimaksud di sini adalah sebuah kamar belakang yang sengaja dibuat lebih tinggi oleh Bapak. Hanya kamar Nektu yang disangga tiang-tiang di rumah ini. Lengkap dengan guha-guha yang memudahkan Nek Tu buang air kecil atau meludah. Tungkai tuanya sudah kekurangan kalsium, tidak bisa dibawa berjalan lagi. Pantas saja pikirannya hanya berkisar di seputar singgasana saja.
Paling sesekali NekTu mendongeng kisah kepahlawanan Cut Nyak Din atau Keumala Hayati. Nek Tu tak pernah tahu jika seorang aktris telah mendapatkan penghargaan internasional karena berperan sebagai istri Teuku Umar itu. Dan Keumala Hayati dan bahteranya sudah naik ke teater-teater. Saat Nek Tu muda dulu di kampungnya tak ada TV. Ketika ia menjadi tua, matanya tak sanggup lagi untuk beradaptasi dengan kilauan cahaya yang dipancarkan benda persegi empat tersebut. Dan Mirah tak perlu menyalahkan Nek Tu atas segala prinsip hidup yang diyakini perempuan tua tersebut. Bukan pilihan yang bijak untuk menantang Nek Tu. Ia sanggup mengoceh dua hari dua malam. Membicarakan perangai Mirah pada setiap anak cucu yang menggunjinginya. Bahkan ia masih sanggup mendendangkan hal itu sampai Lebaran tahun depan.
Nek Tu memang sudah tua bersama kulitnya yang kian keriput. Membiarkan ia tak ditantang di istananya merupakan keputusan yang bijak. Toh Nek Tu tak akan pernah tahu jadwal kerja Mirah. Kecuali kalau penghuni rumah sudah terlelap semua dan tidak ada yang membukakan pintu untuknya. Mirah tak punya pilihan lain selain mengetuk pintu kamar Nek Tu. Satu hal yang ajaib, pendengaran perempuan tua itu masih sangat baik. Nek Tu akan membukakan jendela kamarnya untuk Mirah. Dan Mirah memanjat masuk lewat jendela dengan menyeret kursi teras ke bawah jendela Nek Tu. Kemarin Mirah sudah menggandakan kunci pintu depan. Kecemasan akan kepergok Nek Tu selesai sudah.
***
Sosok bertubuh tinggi besar itu kembali mengutuk dirinya sendiri. Sungguh ia tidak memilih untuk menjadi begini. Berwujud legam dan berada di bawah bayangan. Siapa sih yang ingin menjadi sosok yang menakutkan? Bahkan oleh anak kecil sekali pun.
“Nyan naMaop, jangan ke situ, Nak.” Suatu waktu, ia mendengar seorang ibu muda menakuti anaknya yang hendak berjalan ke dekat Maop. Ia merasakan nyeri di dadanya kemudian beranjak pergi dari tempat tersebut.
“Maop …, maop …, hitam …, hitam …, seram …, seram!”
Itulah kata-kata yang sering didendangkan orang untuknya. Benar-benar menyedihkan. Padahal sudah banyak legenda di dunia ini. Kenapa ia harus menjadi legenda kegelapan? Mungkin karena fisiknya yang besar dan hitam? Orang-orang memang kerap melabelkan sesuatu sesuai dengan tampilan fisik.
Barbie, untuk sosok perempuan bermata indah dan berambut panjang. Segala kecantikan, kebaikan dan kelembutan melekat pada sosok itu. Arjuna, lelaki gagah yang mampu menaklukkan hati banyak wanita. Hercules, pahlawan gagah putra dewa. Keharuman nama mereka melekat pada fisik yang indah. Sementara Maop? Sosok hitamnya menjadi simbol ketakutan. Mungkin karena fisiknya juga anak dan istrinya pergi meninggalkan dirinya. Betapa menyedihkan berfisik buruk rupa.
Pada suatu senja didapatinya rumah sudah kosong melompong. Maop yang kecapaian sepulang kerja beristirahat sejenak. Mungkin istri dan putrinya sedang berkunjung ke rumah saudara yang berada di ujung desa. Senja telah bewarna saga, istrinya tak kunjung kembali. Ia masuk ke kamar tidur, betapa terkejutnya ia mendapati isi lemari telah kosong. Tergesa Maop menuju ke ujung desa, berharap istrinya ngambek dan mengungsi ke rumah saudaranya. Tapi hanya sepucuk surat yang ditinggalkan istri pada saudaranya.
Lunglai, Maop kembali berjalan pulang ke rumah mereka. “Aku sudah tidak sanggup hidup bersamamu lagi. Jangan pernah mencariku lagi. Wanita yang pernah menjadi istrimu ….” Kalimat itu mengiringi langkah Maop kala senja beranjak ke peraduan malam.
Semenjak kejadian itu, Maop menjadi enggan menampakkan diri di depan umum. Ia merasa gagal sebagai suami. Rasa malu menamparnya ribuan kali. Ia hanya muncul di bawah bayang-bayang. Sembari mengenang anak dan istri yang tak pernah kembali. Makanannya kesedihan dan air mata menjadi pelepas dahaga satu-satunya.
Maop, sosok hitam yang berada di bawah bayang-bayang. Itulah yang dikatakan orang terhadapnya. Siapa pun yang melihatnya akan lari terbirit-birit ketakutan. Pernah sekali waktu seorang pemuda yang hendak buang hajat di sungai melihatnya berdiri di bawah pohon waru. Pemuda itu kabur tanpa sempat menaikkan celananya. Sungguh tak beretika, membuang hajat di badan sungai yang dipakai desa sebelah sebagai sumber air minum, pikir Maop kala itu. Tapi ia terlanjur dikenal sebagai sosok yang menakutkan.
Bosan dengan tuduhan orang-orang terhadap dirinya, Maop akhirnya memutuskan menjadi seperti yang dikatakan mereka.
Jahat, hitam dan legam ….
***
Mirah berjalan cepat di lorong sempit yang mengarah ke rumahnya. Rasa was-was menyelimuti hati. Perasaannya seperti ada yang sedang megikuti terus mengusik hatinya. Mendadak ia berhenti dan mengamati sekeliling. Tak ada apa-apa. Ternyata perasaannya saja yang membuat ia ketakutan sendiri. Setelah menarik napas panjang, dibuangnya rasa takut jauh-jauh. Ia telah dibuat takut oleh bunyi tapak sepatunya sendiri.
Bulan bergantung pucat di angkasa malam. Segumpal awan hitam yang dibawa angin menutupinya perlahan-lahan. Jangkrik bernyanyi dari tanah lapang yang berada di utara. Tiba-tiba langkah Mirah berhenti. Ia tercekat, ingin menjerit, tenggorokannya terasa kering. Pita suaranya lumpuh. Sesosok hitam, legam, tinggi besar sudah berdiri di hadapannya ….
***
Maop memamerkan giginya pada wanita yang sedang ketakutan di depannya. Sungguh ia menikmati ini semua. Ia selalu berandai-anda korbanya adalah istri yang tega meninggalkan Maop dalam kepedihan. Hingga kegelapan mendatanginya. Dan ia bisa mengambil hati korban-korbanya dengan bahagia, kemudian mencampakkannya di jalanan. Ia melakukannya tanpa rasa bersalah.
Maop berjalan mendekati wanita yang berparas pucat tesebut. Dipegangnya bahu sang wanita yang tergetar ketakutan itu. Seperti biasa kuku-kuku tajamnya akan menghunjam ke dada kiri korbannya. Ketika kukunya mengenai kulit wanita tersebut, Maop tersentak kaget. Tangannya seperti tersetrum ribuan volt listrik. Ia mundur ke belakang, menatap korbannya yang pasrah memejamkan mata.
Wajah itu …, Maop merasakan nyeri di ulu hatinya. Ia mendekap dada kiri. Kemudian terduduk di hadapan wanita yang mulai membuka matanya perlahan-lahan. Tatapan mata wanita itu semakin menusuk dada kiri Maop. Wanita itu mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Maop merasakan sakit yang tiada dua. Wanita itu yang tak lain adalah Mirah itu menyodorkan botol air mineral pada sosok tinggi besar yang kini berlutut kesakitan di depannya.
Dengan tangan tergetar maop menerima benda tersebut. Tanpa berkata-kata Mirah berjalan meninggalkan makhluk itu. Maop masih bersimpuh sambil menatap botol air mineral yang diberikan Mirah. Bunyi langkah yang menggunakan high heels terdengar semakin menjauh…. [***]
IDA FITRI, lahir di Bireuen 25 Agustus. Sekarang ia menjadi Penyuluh Kesehatan Masyarakat di Aceh Timur. Cerpennya berjudul Maop ini dikutip dari Harian Serambi Indonesia edisi Minggu, 21 Februari 2016.